08 Maret 2011

Media Massa, Teknologi, dan Perkembangan Mental Anak

Hari-hari terakhir ini, kita hampir tidak dapat dilepaskan dari hingar bingar berita skandal video porno mirip artis yang sudah tersebar bebas di internet. Lepas dari segala kecaman maupun berita yang disorotkan ke artis yang terlibat, kita memang perlu prihatin bahwa tersebarnya rekaman tersebut, sudah terjangkau hingga ke berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Bahkan jauh sebelum kehebohan video ini muncul, kita tentu masih ingat tersebarnya pula rekaman video seks mantan pejabat, mahasiswa, ganti baju artis, dan masih banyak lagi.

Semuanya merupakan aktivitas yang cenderung ditabukan dalam kultur masyarakat kita, terutama bagi anak-anak. Dan tidak dapat dipungkiri, kasus yang melibatkan artis-artis terkenal ini menjadi perhatian public maupun pemerintah yang cukup besar karena mereka adalah figur public, sehingga membuat lebih banyak kalangan yang cenderung ingin tahu, apa yang sedang diberitakan media massa.

Harus kita akui, di jaman yang serba modern ini, penyebaran informasi apapun, baik yang positif maupun negative, relative sulit dihindari, termasuk juga informasi-informasi yang seharusnya diperuntukkan untuk orang dewasa yang sudah siap lahir dan batin menerima informasi tersebut. Apalagi, perkembangan internet dan perangkatnya yang semakin murah dan semakin kita butuhkan untuk aktivitas sehari-hari sehingga memungkinkan akses yang semakin mudah.

Tentu tidak akan efektif bila kita sebagai orang tua, hanya sekedar melarang anak kita dan memarahinya bila kita mendapatinya sedang mengkonsumsi informasi yang tergolong dewasa, baik melalui internet, handphone, televisi ataupun alat teknologi lain, karena hal itu akan memunculkan rasa penasaran yang besar pada anak, dan ujung-ujungnya, akan mudah tergoda untuk mencari tahu dalam bentuk praktek nyata, seperti yang kebanyakan diberitakan selama ini di berbagai media massa.

Oleh sebab itu, kunci utama untuk melindungi buah hati kita dari dampak negative kemajuan teknologi, dengan tetap kita mampu memaksimalkan segi positif dari teknologi tersebut, adalah KOMUNIKASI. Seperti layaknya setiap hubungan apapun itu, termasuk hubungan antar suami-istri, KOMUNIKASI merupakan sarana yang paling efektif untuk saling memberikan masukan, saling memahami, saling memberikan pengertian, dan saling belajar satu sama lain dalam mencapai win-win solution di setiap masalah apapun.

Marah, memaksa, melarang, menghukum, maupun tindakan emosional lainnya, cenderung meningkatkan perasaan tertekan dan keinginan memberontak pada anak, yang ujung-ujungnya, akan menyulitkan orang tua dalam penanaman nilai secara tepat.

Komunikasi antar orang tua-anak yang terjalin dengan baik (artinya, anak merasa nyaman setiap kali berkomunikasi dengan orang tuanya, bukan malah tertekan atau takut), akan jauh lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai dibandingkan factor luar. Hanya pada saat anak tidak merasa nyaman ketika ia di rumah, itulah saatnya factor luar (teman, media massa, dll) memberikan pengaruh yang signifikan.

Lantas, bagaimana caranya ber-KOMUNIKASI yang efektif agar anak mudah memahami pengertian yang dimaksud orang tua?

Di sini, dibutuhkan KESESUAIAN antara inti informasi yang dikomunikasikan orang tua dengan perkembangan mental anak, yang umumnya mengikuti perkembangan usianya.

Tidak dapat dipungkiri, perkembangan intelektual dapat semakin cepat dan semakin dini berkat pengaruh gizi, lingkungan, maupun pola asuh. Namun sebaliknya, perkembangan mental perlu proses sinergi terus menerus antara orang tua-anak-lingkungan hingga anak mulai mampu mengambil tanggung jawab secara mandiri di masa dewasa.

Oleh sebab itu, kami sajikan beberapa tips berikut ini yang dapat dicoba orang tua dalam menanamkan nilai-nilai normative (khususnya terkait perilaku seks bebas):

1. Memanfaatkan Perumpamaan/ Metafora CINTA dan RESMI

Hal ini terutama saat anak berusia di bawah sekurang-kurangnya 7 tahun (sekitar SD kelas 2), bertanya dari mana ia dilahirkan.

  • Lebih baik orang tua menghindari jawaban yang sulit diterima akal sehat karena kelak di masa depan, anak akan sulit percaya kepada orang tua bila ternyata kenyataannya tidak seperti yang disampaikan orang tua.

  • Lebih baik orang tua memberikan jawaban dari Cinta, seperti cerita cinta dongeng Cinderella dan dari Cinta itulah, anak dilahirkan. Maka, konsep terlahir dari “Cinta”, menjadi norma yang terekam di informasi anak.

  • Di atas usia 7 th – awal masa akil balik, orang tua bisa menambahkan konsep “Cinta” tersebut dengan konsep “Resmi”, di mata agama dan hukum, seperti anak yang terlahir dari Cinta yang telah dipersatukan secara resmi oleh agama dan hukum dalam bentuk pernikahan yang sah.

  • Maka ketika anak sudah memasuki masa akil balik (remaja ke atas), nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” sudah terekam di kepribadian anak, sehingga selanjutnya, tugas orang tua relative lebih ringan dengan membimbing anak untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi organ tubuh yang sudah mulai matang. Baru pada saat itulah, anak baru dapat belajar mengenai awal mula “Proses Biologis” terbentuknya kelahiran anak dengan nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” yang tertanam.


2. Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari foto-foto perkawinan orang tua

3. Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari dokumen kelahiran anak, hasil dari Cinta kasih yang diwujudkan dalam bentuk pernikahan Resmi.

4. Menekankankan dan selalu mengulang kata “Ayah dan Ibu PERCAYA sama Adik (atau nama panggilan anak), dan bahwa Adik akan selalu menggunakan kepercayaan Ayah dan Ibu dengan baik”

5. Menjelaskan bahwa perilaku seks bebas seperti yang ditunjukkan oleh artis maupun orang lain seperti yang diberitakan di berbagai media massa maupun internet, itu bukanlah “Cinta” karena tidak dipertanggungjawabkan secara “Resmi” di hadapan agama dan hukum. Maka dari itu, perilaku semacam itu, tidak akan menghasilkan kebahagiaan bagi diri sendiri.

  • Hal ini-pun berlaku ketika anak sudah menginjak remaja dan mulai menjalin hubungan pacaran, sehingga dengan nilai/ kata kunci “Cinta”, “Resmi”, maupun “Orang tua Percaya” yang telah tertanam dalam prinsip hidup anak, kondisi mental anak akan relative sudah siap untuk menjaga diri sendiri dari godaan untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya, walaupun dengan pacar sendiri.


6. Yang terakhir dan tak kalah pentingnya, adalah PANUTAN dari orang tua. Tanpa “PANUTAN” yang sesuai dengan kenyataan yang dilihat anak, maka langkah 1 s/d 5 akan menjadi kurang efektif, atau lebih tepatnya, sia-sia.

Seperti sebuah pepatah mengatakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Demikian juga dengan perkembangan mental pada generasi muda masa datang, khususnya anak-anak kita.

Kita tidak dapat memperbaiki masa lalu, kita tidak dapat menutup diri dari perkembangan jaman, kita juga tidak dapat menghindari kemajuan teknologi yang sangat cepat, tapi kita dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya demi masa depan yang lebih baik. Dan, itu semua tergantung dari diri kita masing-masing saat ini.

Selamat menjadi orang tua yang berbahagia!  ^_^

Penulis :
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CORONA

hmmm... sudah lama tdk sekolah, sejak ada virus corona sekolah libur, kantor libur dan toko banyak yang tutup. Sejak bulan Maret 2020 sekola...