Rohedi/nakita
I nilah yang bikin anak jadi pintar melempar kesalahannya ke orang lain. Selain, ia pun takut dihukum kalau mengaku salah.
Saya kaget ketika mendengar suara piring pecah dari arah dapur. Di sana saya lihat Echa, putri sulung kami yang berusia 4 tahun, sedang berdiri di antara pecahan piring itu. Tapi bukannya mengaku salah, eh, malah menyalahkan si Mbak. Katanya, 'Bukan Echa yang salah, kok, Bu. Si Mbak, tuh, naro piring, kok, di pinggir meja.' Duh, mau jadi apa kelak anak saya," keluh Ny. Eni dengan wajah muram.
Lempar batu sembunyi tangan alias menimpakan kesalahan pada orang lain, memang bisa saja terjadi pada anak usia ini. Sekalipun kita selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran kepadanya. Hingga, rasanya kita tak percaya dan sedih melihat si kecil bisa melakukan perbuatan manipulatif seperti itu. Akibatnya, kita pun was-was bila perilaku itu akan menetap dalam diri anak.
TAKUT DIHUKUM
Sebenarnya, kita tak perlu kaget apalagi sampai cemas berlebihan. Soalnya, sebagaimana dijelaskan E.P. Triambarwangi, S.Psi., anak usia prasekolah masih dalam tahap prekonseptual. "Di tahap ini, perkembangan bahasanya terbatas, hingga ia belum bisa menangkap hubungan sebab-akibat. Nalarnya pun belum berjalan sempurna, hingga kemampuannya menganalisa juga sangat terbatas, termasuk menganalisa tentang baik dan buruk."
Jadi, bila ia melimpahkan kesalahan pada orang lain, memang karena kematangan kognitifnya belum memadai, ya, Bu-Pak. "Ia belum bisa menganalisa dengan baik atau melihat suatu permasalahan secara menyeluruh. Yang bisa ia lihat hanya dari sisi aku saja karena sikap egosentrisnya masih sangat tinggi," lanjut psikolog yang akrab disapa Pipit ini.
Namun begitu, tak tetutup kemungkinan perbuatan manipulatifnya lantaran ia belajar dari orang lain. Bukankah belajar yang paling gampang dengan meniru? "Kalau ia melihat orang terdekatnya, entah ayah, ibu, kakak, atau pengasuhnya, suka bersikap memanipulatif, tentu ia akan melakukan hal yang sama." Bukankah bagi anak usia ini, apa yang dilihatnya itu adalah yang benar?
Hal lain yang tak boleh dilupakan, anak belajar dari pengalaman. "Jika di rumahnya berlaku norma, siapa saja yang salah patut dihukum padahal hukuman itu tak disukainya, maka cara mengelaknya, ya, dengan manipulatif tadi." Jadi, orientasinya agar terhindar dari hukuman dan ini wajar saja.
KERAP DIPOJOKKAN
Selain yang sudah disebutkan di atas, tindakan manipulatif yang dilakukan si kecil juga bisa disebabkan "ulah" orang tua yang tak menghargai diri anak. "Seringkali orang tua lupa dengan selalu menyudutkan anak, mencari-cari kesalahan anak, dan anak tak pernah diberi kesempatan untuk mencoba segala hal," jelas Dr. Seto Mulyadi yang ditemui pada kesempatan berbeda. Ingat, tambahnya, anak pun manusia biasa yang pada dasarnya ingin dihargai. Bukankah dihargai merupakan kebutuhan semua orang?
Nah, karena kerap merasa tidak dihargai atau dipojokkan inilah, maka salah satu mekanisme pertahanan dirinya adalah mencari kambing hitam atau memanipulasi keadaan yang sebenarnya. "Dalam pikirannya, yang penting asal egonya tak terserang atau dapat terlindungi secara aman. Karena, mana ada, sih, orang yang terus-menerus mau dicap sebagai orang yang salah, orang yang gagal? Jadi, untuk melindungi dirinya itulah ia membela egonya dengan mekanisme pertahanan tadi."
Itulah mengapa, psikolog yang kerap disapa dengan sebutan Kak Seto ini, minta agar orang tua mengerti perasaan anak. "Sadari bahwa tindakan manipulatif anak disebabkan tekanan-tekanan karena ketakutannya." Hanya dengan cara mengerti perasaan anaklah, menurutnya, akan tumbuh rasa aman secara psikologi.
Dengan demikian, perbuatan manipulatif yang dilakukan si kecil di usia ini bukan dalam pengertian sebagaimana yang dilakukan orang dewasa. Ingat, anak balita masih dalam tahap proses belajar mengerti hal-hal baik dan buruk. Hingga, kemampuannya berbohong pun masih sangat terbatas.
SIKAP ORANG TUA
Baik Pipit maupun Kak Seto sama-sama menganjurkan agar orang tua introspeksi diri. "Sebelum mengubah anak, orang tua harus mengubah diri sendiri dulu," kata Kak Seto. Jadi, kita harus mengubah semua aktivitas kita yang cenderung memojokkan si kecil, ya, Bu-Pak. "Dengan begitu, anak akhirnya akan betul-betul merasa aman, hingga ia pun berani untuk jujur. Bukankah kejujuran itu sangat dihargai oleh orang tuanya?"
Begitu pun bila ternyata kitalah yang menjadi sumber peniruan anak, "orang tua harus segera memperbaikinya," ujar Pipit. Misal, kalau kita salah, kita mengakuinya dan meminta maaf. Pun seandainya harus minta maaf pada anak. "Dengan demikian, anak belajar, 'Oh, kalau aku salah enggak perlu aku tutup-tutupi. Aku tinggal minta maaf. Ibu juga kalau salah sama aku minta maaf, kok.'." Tentu anak pun harus tahu, setelah ibu minta maaf, ibu tak pernah mengulangi kesalahannya lagi. "Jangan malah melakukan kesalahan yang sama dan minta maaf lagi. Kalau seperti itu, yang akan dingat anak adalah ternyata minta maaf itu enggak ada artinya."
Dalam memberi hukuman, kita juga harus koreksi, "sudahkah pemberian hukuman yang kita lakukan itu proporsional? Kalau gara-gara ia memecahkan piring lantas dihukum dengan berdiam seharian penuh di gudang, itu sama sekali enggak proporsional. Bukankah tujuan kita menghukum anak agar perbuatan yang dilakukannya tak terulang lagi?" Hukuman yang tak proporsional, terang Pipit, membuat pesan kita tak sampai ke anak dan anak pun akan bertanya-tanya, "Apa salahku? Begitu saja, kok, dihukum berat begini." Nah, yang ia ingat bukan kesalahannya dalam memecahkan piring, melainkan harus masuk ke gudangnya.
Akan berbeda hasilnya bila kita mengajak si kecil untuk duduk bersama dan mengajaknya bicara. Misal, "Jadi, Kakak enggak salah, ya? Yang salah si Mbak, karena taruh piringnya terlalu ke pinggir. Lo, kalau main bola di dapur itu apa enggak salah? Bagaimana kalau saat main bola, lalu bolanya melenting ke piring dan membuat piringnya jatuh?" Dengan cara ini, si kecil akhirnya sadar dan melihat permasalahan secara lebih luas.
Namun kita juga harus menunjukkan hal yang benarnya, lo. Misal, "Kalau Kakak main bola di dalam rumah, nanti akan kena perabotan. Jadi, lebih baik mainnya di halaman saja. Namun kalau bolanya hanya sekadar dipegang-pegang atau digelinding-gelindingkan di karpet yang engga ada TV-nya maupun perabotan lain, itu baru boleh." Dengan demikian, anak sekaligus diajarkan untuk memandang permasalahan bukan dari sudut akunya saja, tapi juga dari sudut orang lain.
Selain itu, dengan mengajaknya bicara, kita pun bisa berdialog secara efektif. Hingga, anak akan merasa dihargai, diberi kesempatan untuk bicara, boleh mengutarakan semuanya. Sekaligus kita juga mendapat masukan banyak tentang diri anak. Kita jadi bisa mengerti perasaan-perasaan si kecil.
Itu sebab, Pipit dan Kak Seto menganjurkan, orang tua sebaiknya terus berusaha memahami anak. Terlebih karena kemampuan kognitif si kecil masih terbatas, ya, Bu-Pak.
Hal lain yang penting diperhatikan, anak berhak untuk salah. Karena melalui kesalahan, ia akan belajar lebih efektif. Sebaliknya, "anak yang tak pernah diberi hak untuk salah tak akan menjadikan kesalahan itu sebagai guru, tapi sebagai sumber bencana yang harus ditutup-tutupi."
Nah, sekarang sudah enggak marah dan khawatir lagi, kan, Bu-Pak?
Indah/Achmad Suhendi/nakita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar