08 Maret 2011

Awas, Polusi Suara Bikin Tuli!



Iman Dharma/nakita


I ni polusi yang kerap tak kita sadari. Padahal, bisa membuat si kecil jadi tuli. Polusi udara dan air pun tak boleh dianggap remeh.

Penelitian di Cina membuktikan, ibu hamil yang tinggal di pemukiman sekitar bandara bisa melahirkan bayi prematur. Soalnya, tiap hari mereka harus mendengar frekuensi suara dengan kekuatan 80 desibel. Nah, bayi ­bayi prematur ini, sekitar 4-10 tahun akan mengalami gangguan pendengaran atau ketulian terhadap frekuensi tinggi. Bukankah bayi prematur amat sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi?

Penelitian mengenai polusi suara di negara-negara maju juga mengungkap, bayi prematur yang dirawat di Neonatal Intensif Care Unit (NICU untuk bayi baru lahir) akan mengalami gangguan pendengaran di kemudian hari, karena mereka mendapatkan suara-suara/bunyi-bunyian berfrekuensi tinggi di atas 40 desibel. Jadi, dalam penelitian tersebut, mereka mengambil kesimpulan bahwa bunyi-bunyian di NICU seperti suara monitor dan inkubator yang dibuka-tutup yang memiliki suara di atas 40 desibel akan mengganggu pendengaran bayi di kemudian hari. Namun mengapa mereka memilih bayi-bayi di NICU, menurut Dr. Karel A.L. Staa dari RS Pondok Indah, Jakarta, "mungkin karena di negara-negara tersebut sulit menemukan polusi suara. Beda di Indonesia, kan, banyak banget; bukan hanya di rumah sakit, di luar pun polusi suara banyak sekali."

PRODUKTIVITAS BERKURANG

Kendati penelitian-penelitian tersebut tak dilakukan di Indonesia, bukan berarti hasilnya tak berlaku di negeri ini, lo. Bukankah sebenarnya polusi suara di negeri-negeri tersebut jauh lebih rendah ketimbang di sini? Lihat saja, berapa banyak penduduk negeri kita yang berumah di tempat-tempat berisik semisal dekat pabrik yang mengeluarkan frekuensi suara tinggi. "Bisa-bisa pendengaran mereka akan terganggu karena hampir sepanjang hari terjadi polusi suara." Belum lagi yang berumah di sekitar rel kereta api. "Suara kereta api, kan, frekuensinya cukup tinggi. Walau kita belum mengadakan penelitian, kita bisa ambil kesimpulan bahwa frekuensi dan durasi tinggi akan berdampak pada pendengaran. Misal, dalam frekuensi 80 desibel akan terjadi gangguan pendengaran bila durasinya mencapai 8 jam. Namun bila frekuensi lebih tinggi, mungkin 1 jam saja sudah berdampak."

Sayang, banyak orang tak sadar terhadap dampaknya. "Mereka merasa oke-oke saja berumah di lingkungan dengan frekuensi suara yang tinggi." Terlebih buat mereka yang tingkat pendidikannya rendah, tuli atau tak mendengar pada frekuensi tinggi, akan terasa biasa-biasa saja. Dipikirnya, mereka tak mendengar lantaran suasananya memang berisik. Apalagi untuk pemeriksaan rutin ke dokter, terlebih dokter spesialis, sama sekali tak terpikirkan oleh mereka. Padahal, jika didiamkan terus, produktivitas mereka dikemudian hari akan terganggu. Bukankah faktor telinga amat penting?

Jadi, jangan anggap remeh polusi suara. Dampaknya sangat tak menguntungkan buat si kecil. Kita pun tak bisa mencegahnya dalam arti tak ada yang bisa kita lakukan untuk menghindarinya kecuali tak berumah di lingkungan tersebut. "Mungkin pemerintah harus merancang, di radius berapa kilometerkah, orang bisa bermukim sekitar jalur kereta api atau bandara. Jangan cuma keamanan fisik saja yang diperhatikan, tapi juga harus mempertimbangkan polusi suara." Dengan demikian, instansi yang berwenang perlu mengadakan penelitian, mengingat masalah ini mencakup sumber daya manusia di kemudian hari. "Jika salah satu alat inderanya tak berfungsi, jelas akan mengurangi produktivitas. Lagi pula, anak-anak, kan, tak berdosa," tandas Karel.

POLUSI UDARA

Tentang polusi udara, contoh yang sangat mengganggu adalah pembakaran sampah yang tak pada tempat dan waktunya. Sementara yang agak tersamar tapi punya dampak negatif adalah pemukiman di sekitar jalan raya. "Jadi, bukan cuma rumah-rumah kumuh, tapi rumah-rumah mewah di tepi jalan raya pun bisa dikategorikan berbahaya," ungkap Karel. Bayangkan, kadar gas CO (karbon monoksida) yang keluar dari bis-bis umum, apalagi yang berbahan bakar solar karena bahan bakar ini tak ramah lingkungan. "Bahan bakar solar memiliki sisa pembakaran paling banyak ketimbang bahan bakar lain."

Tak heran bila kita lihat banyak debu menempel di kaca-kaca rumah tersebut padahal sudah dibersihkan tiap hari. Dari situ saja bisa kita bayangkan berapa banyak partikel yang dihirup manusia di daerah tersebut. Ini tentu tak bagus buat alat pernapasan. Bukan cuma orang dewasa yang akan terganggu, si kecil pun demikian. "Bayi bisa mengalami gangguan fungsi paru-paru. Bisa juga terjadi infeksi saluran pernapasan." Jika berkepanjangan, akhirnya akan mengganggu semuanya: dari gejala tak mau makan hingga timbul penyakit sekunder seperti batuk-batuk sampai kanker, lantaran daya tahan saluran pernapasannya rendah. "Penyakit kanker bisa terjadi 20-30 tahun kemudian. Kasihan sekali, kan, mereka meninggal muda tapi enggak sadar penyebabnya apa."

Lagi-lagi peran pemerintah amat besar untuk merancang agar di tepi jalan raya tak boleh ada pemukiman kecuali toko, misal. "Namun ini agak sulit karena berhubungan dengan planologi suatu kota sejak awal. Kita, kan, enggak bisa mengubah suatu kota dengan mendadak," bilang Karel. Yang bisa kita lakukan hanyalah menghindari berumah di sekitar tepi jalan raya. Jika sudah terlanjur, siasati dengan membangun rumah kecil tapi berpekarangan luas hingga tersedia lahan buat ditanami pepohonan. Dengan begitu, ada penghalang alami dari gas CO. Saran lain yang dianjurkan Karel, buatlah kamar tidur dan ruang keluarga menghadap ke pekarangan belakang, bukan ke tepi jalan raya.

Hal lain yang harus diperhatikan, hati-hati memanaskan mobil. Khususnya buat Ibu dan Bapak yang tiap pagi pasti memanaskan mobil sebelum berangkat ke kantor. Soalnya, dengan kita memanaskan mobil, terlebih di ruang tertutup, si kecil akan menghirup gas CO. "Jika kita memanaskan mobil selama 10-15 menit saja setiap harinya, pasti gas tersebut akan terhirup juga oleh bayi." Jadi, sarannya, kalau memanaskan mobil jangan di ruang tertutup. Bila mungkin, buka pintu garasi. Jika mobil sudah agak panas, keluarkan ke tempat terbuka dan jauhkan si kecil dari mobil yang sedang dipanaskan.

POLUSI UDARA

Akan halnya polusi air, yang tersamar dan jarang disadari adalah kaporit di kolam renang. Padahal, tak sedikit, lo, orang tua yang membawa bayinya ke kolam renang.

Kaporit, terang Karel, pada tingkat kejenuhan tertentu akan berdampak negatif. Antara lain, sehabis berenang, mata jadi merah. Belum lagi kolam renang di beberapa kota, termasuk Jakarta, tak mengganti airnya setiap hari. "Air di kolam renang itu disediakan untuk satu bulan. Jadi, hanya diputar menggunakan mesin, lalu daun-daun yang berjatuhan di kolam dibersihkan." Tak heran jika bisa timbul jamur di kulit sehabis berenang. "Terlebih pada bayi, kulitnya amat sensitif. Hingga, jika tak dimandikan lagi setibanya di rumah, cepat sekali terkena jamur."

Tentu saja, tak semua kolam renang seperti itu. Di beberapa tempat yang memiliki sumber air sendiri, biasanya kolam renang bisa dijamin kebersihannya. Yang penting, usai berenang, si kecil harus dimandikan dengan air bersih. Selain itu, sebelum si kecil diajak masuk ke kolam, sebaiknya kita "tes" dulu tingkat kejenuhan kaporit air kolam. Caranya, kita masuk duluan ke kolam, lalu tenggelamkan kepala dengan mata terbuka. Jika mata terasa amat perih, sebaiknya tunda mengajak si kecil berenang. Kendati ia cuma main-main air saja, tapi bukan tak mungkin air kolam akan memercik ke matanya hingga bisa menimbulkan rasa perih dan akhirnya mata jadi merah.

Faras Handayani/nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CORONA

hmmm... sudah lama tdk sekolah, sejak ada virus corona sekolah libur, kantor libur dan toko banyak yang tutup. Sejak bulan Maret 2020 sekola...