08 Maret 2011

Jangan Biarkan Ia Merebut Milik Orang Lain

S ering, kan, anak usia ini merebut mainan teman atau saudaranya? Wajar, kok, Bu-Pak, tapi tak boleh dimaklumi. Ia harus diarahkan agar tak berkembang jadi pribadi yang tak peduli tatakrama.

Anak usia ini, terang Sritje Hikmat, S.Psi . belum punya konsep kepemilikan, hingga ia belum bisa membedakan mana yang miliknya dan mana milik orang lain. Kondisi ini "diperparah" dengan pola pikir anak yang masih konkret fungsional, selain sifat egosentris yang masih melekat kuat. Di mata batita, dirinyalah yang jadi pusat dunia, hingga semua yang ada memang untuknya dan disediakan khusus untuk memenuhi kebutuhannya. Itu sebabnya, lagi-lagi dalam kaca mata batita, boleh-boleh saja, kok, merebut dan memiliki barang orang lain.

Jadi, tak perlu terkaget-kaget, ya, Bu-Pak, bila si kecil mengklaim, "Ini punyaku, ini juga punyaku," sambil meraup semua mainan kakaknya. Jangan pula malu kala si kecil memboyong mainan temannya ke rumah, apalagi sampai memarahinya. "Justru dari sini, anak berproses menuju kemampuan ber-sharing atau berbagi," kata Itje, sapaan akrab lulusan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) yang jadi konselor di DIA-YKAI, Jakarta, ini.

Tapi tentu harus dengan pengarahan kita, ya, Bu-Pak, agar si kecil mau berbagi dan memahami berbagai nilai. Kalau tidak, ia bisa kebablasan dan dampaknya bukan cuma sesaat buat si kecil. Ia bisa dikucilkan dari pergaulan, lo. Yang lebih parah, jika budaya saling rampas tumbuh sumbur di rumah, ia akhirnya terbentuk jadi pribadi yang tak mengindahkan tatakrama, cenderung main ambil tanpa permisi saat menginginkan sesuatu.

BIASAKAN MINTA IJIN

Nah, karena akar masalahnya belum punya konsep kepemilikan, maka yang harus kita lakukan ialah mengenalkan konsep tersebut pada si kecil. Misal, "Mobil-mobilan yang warnanya merah ini punya Kakak. Nah, mobil-mobilan yang warnanya hijau ini punya Adik.", "Baju ini milik Ibu, sepatu itu punya Ayah.", dan seterusnya.

Ia pun harus dibiasakan minta ijin dulu sebelum menggunakan barang yang bukan miliknya. Misal, "Dik, mobil-mobilan ini punya Kakak. Kalau Adik mau pinjam, harus bilang dulu sama Kakak, boleh enggak." Meski kemampuan verbalnya masih terbatas hingga lafalnya belum jelas, namun kita tetap harus "memaksa" si kecil minta ijin dulu.

Tentunya kebiasaan minta ijin dulu harus diberlakukan pula pada semua anggota keluarga. Dengan begitu, kita sekaligus menanamkan budaya sikap santun dalam keluarga.

JANGAN BERPIHAK

Penting pula memberi pengertian pada si kecil untuk menerima konsekuensinya bila orang lain tak ingin meminjamkan kendati ia sudah minta ijin. "Bila si kakak memang tak mau meminjamkan mainannya, ajari si adik untuk menerima kenyataan itu." Agar sama-sama enak, kemukakan keberatan kakak sambil alihkan perhatian adik, misal, "Kita main yang lain saja, yuk, Dik. Soalnya, Kakak mau main juga, sih."

Celakanya, yang kerap terjadi justru si kakak diminta mengalah terus, "Kakak ngalah aja, deh. Kasihan, kan, Adik. Sebentar lagi, dia juga pasti bosan, Kak." Meskipun reasoning semacam ini ada benarnya bila dikaitkan dengan masa eksplorasi. Bukankah batita umumnya akan terpuaskan hanya dengan sekadar melihat dan memegang benda yang dimaksud? Jadi, motivasinya memang bukan ingin merebut, melainkan semata-mata dorongan egosentrisme yang kuat tadi.

Namun begitu, kita tak boleh sebatas hanya memaklumi bahwa hal tersebut memang wajar dalam perkembangan anak usia ini, termasuk pula memaklumi anak usia ini belum tahu aturan/tatanilai. Justru karena kita mengerti kondisi anak usia ini seperti itu, maka kita harus mengajarkannya. Kalau tidak, ia akan berpikir, "Ah, Bunda nggak pernah ngelarang, kok. Jadi, aku boleh-boleh saja, dong, ngerebut." Kepeduliannya jadi tak terasah, "Kalau aku mau sesuatu, mesti dapat, nggak peduli bagaimana caranya dan apa akibatnya pada orang lain."

Lagi pula, dengan kita minta si kakak atau anak yang lebih besar untuk mengalah, dampaknya juga tak bagus buat si kakak. Ia merasa diperlakukan tidak adil, misal. Jadi, jangan pernah terpancing untuk "memenangkan" si adik, ya, Bu-Pak.

AJARKAN EMPATI

Begitu pun bila si kecil menginginkan mainan temannya, kita tak boleh berpihak kepadanya. Ingatkan dia untuk minta ijin dulu pada temannya. Ia pun harus diajarkan untuk juga meminjamkan mainannya. Bila ia cuma mau pinjam tanpa mau meminjamkan, kita harus berani bersikap tegas. Tapi bukan dengan cara memarahinya di depan si teman, lo, melainkan beri ia pilihan, "Kita pulang saja dan Adik hanya boleh main kalau enggak mengambil mainan teman."

Pada si kecil perlu pula diajarkan untuk berempati, "Bunda pingin tahu, deh, gimana, sih, perasaan Adik kalau mainan kesayanganmu Bunda ambil. Pasti Adik sedih dan ingin marah, kan? Nah, begitu juga teman Adik." Contoh sederhana ini, menurut Itje, biasanya lebih mudah. "Jelaskan juga, tentunya dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, kalau ia merebut terus, tak akan ada yang mau main dengannya."

Strategi lain perlu diterapkan bila si kecil dan temannya sama-sama berusia batita, sama-sama keras dan tak ada yang mau mengalah, yakni alihkan pada permainan lain yang lebih mengutamakan kebersamaan. Misal, "Kita main kereta-keretaan aja, yuk. Adik tunggu di sana dan Iwan di sini." Dengan begitu, si kecil dan temannya akan lupa pada "percekcokan" mereka, sementara kepuasan bermain bisa tetap terpenuhi.

Bila si kecil sudah terlanjur merebut mainan teman, apalagi ia juga menolak kala diminta mengembalikan mainan itu dan malah mengamuk, mau tak mau kita harus bicara dengan orang tua si teman. "Minta maaf kepada si orang tua dan tanyakan, boleh-tidak mainannya dipinjam sebentar." Tapi sesudahnya, segera kembalikan bila si kecil sudah lupa pada mainan itu.

Bila setelah dikembalikan ternyata si kecil ingat lagi pada mainan itu, "katakan terus dan jangan bohongi mainan itu dimakan tikus, misal. Kemudian alihkan perhatiannya dengan melakukan aktivitas yang disukai anak semisal baca cerita." Pesan Itje, jangan sekali-kali mengalihkan perhatian si kecil dengan menjelek-jelekkan atau membanding-bandingkan semisal, "Ah, mainan jelek kayak gitu aja dimauin. Mainan kamu, kan, lebih bagus dari mainan dia." Cara begini cuma menimbulkan persaingan tak sehat. Lebih baik, unggulkan saja miliknya tanpa harus dibanding-bandingkan, "Adik, kan, juga punya mobil-mobilan. Mobil-mobilan Adik bagus, lo. Lihat, nih, pintunya bisa dibuka. Bagus, kan?"

GALI PERASAAN ANAK

Hal lain yang harus diperhatikan, bukan tak mungkin perilaku si kecil yang seperti itu lantaran ia ingin mendapat perhatian. Bila demikian, saran Itje, kita harus introspeksi diri; apakah perhatian kita lebih tercurah pada hal lain ketimbang dirinya hingga ia merasa tak diperhatikan lalu berulah dengan merebut milik teman/saudaranya. Hati-hati, lo, sekali ia berulah begitu dan mendapat perhatian, ia akan mengulanginya. Ia belajar, "Oh, lewat cara ini, ternyata Ayah dan Bunda jadi perhatiinaku."

Di sini, kepekaan kita diperlukan untuk menentukan sejauh mana perilaku si kecil bisa ditolerir. "Kan, kita bisa menilai, kenapa dan ada apa sebenarnya dengan anak; kapan terjadi dan bagaimana frekuensinya, dalam arti baru kali ini atau sudah ke sekian." Selain, kita perlu menjajaki perasaannya hingga alasannya mengambil mainan teman bisa terungkap jelas. Misal, "Sebenarnya kenapa, sih, Adik? Lagi kesel, ya, sama Bunda?" Lewat dialog ini, kita sekaligus mengajak ia mengenali emosinya karena anak usia ini, kan, belum bisa membedakan kapan ia tengah marah, kesal, atau sedih.

Ajarkan pula bagaimana ia harus mengelola gejolak emosinya, "Kalau Adik kesal sama Bunda, bukan begitu caranya.", atau, "Kalau Adik pingin sesuatu, bilang, dong, sama Bunda, bukan malah ngamuk atau diem begitu."

Bila ia sempat ngamuk, cobalah tenangkan dirinya dengan memeluknya, misal. Akan sia-sia, Bu-Pak, bila di saat si kecil nangis, kita malah repot tanya segala macem atau sambil marah-marah.

Yang tak kalah penting, kembangkan diskusi hangat dalam keluarga dan biasakan anak mengutarakan keinginannya. "Ajari anak untuk mengenali keinginan dan kebutuhannya. Dari situ, ia bisa digiring untuk mengerti mana yang harus dipenuhi segera dan mana yang bisa ditunda, hingga ia pun terbiasa menahan diri untuk tak merebut milik orang lain sekalipun sangat menginginkannya," tutur Itje.

MODEL BUAT ANAK

Tapi jangan harap si kecil langsung berubah, ya, Bu-Pak. Soalnya, mengenalkan konsep kepemilikan dengan segala aspeknya seperti diurai di atas, bukan hal mudah; butuh waktu dan kesabaran. Itulah mengapa, pengenalannya harus dilakukan secara perlahan dan anak pun harus diingatkan terus-menerus.

Temperamen dan kemampuan daya tangkap anak juga berpengaruh, lo. Ada yang cepat menerima, namun tak sedikit pula yang perlu waktu dan butuh kasus untuk belajar dari pengalaman. Jadi, kita pun harus mengenali sifat/karakter dan tahu selera anak. Lewat pengenalan ini setidaknya kita bisa mengantisipasi perilaku anak semisal mainan apa yang sangat didambakannya, kapan ia berbaik hati meminjamkannya pada teman, dan kapan pula saatnya ia tak bisa diganggu gugat.

Tak kalah penting, kita harus jadi contoh buat anak. Jangan lupa, orang tua adalah model atau sosok peniruan buat anak. "Apa yang dilihat, direkam, dan dipelajari anak dari orang tua, itulah yang ditiru dan diterapkan dalam interaksinya dengan lingkungan." Jadi, ingat Itje, jangan ngebos dan menganggap diri paling berkuasa di rumah, ya, Bu-Pak, lantas bersikap seenaknya.

Selain itu, dituntut konsistensi dan kesamaan cara mendidik antara ayah dan ibu. Bila ibu melarang, misal, sementara dengan enteng, ayah bilang, "Nggak apa-apalah, anak kecil ini!", atau "Udah, deh, belikan ajalah daripada rewel.", si kecil akan bingung, mana yang harus dituruti. Ia pun tak bisa mengakui otoritas orang tuanya atau malah memanfaatkan salah satu pihak yang dianggapnya lemah. Akibatnya, perilaku main rebut jadi terus berkembang.

Nah, Bu-Pak, kini sudah ketemu solusinya, kan?

Th.Puspayanti/nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CORONA

hmmm... sudah lama tdk sekolah, sejak ada virus corona sekolah libur, kantor libur dan toko banyak yang tutup. Sejak bulan Maret 2020 sekola...